Para pakar, peneliti dan pelaku usaha sharing untuk mencari solusi berbagai ancaman pada produksi kelapa sawit, di ICOPE 2025, Kamis (13/2/2025).
JAKARTA, PERSPECTIVESNEWS- Sebagai salah satu komoditas utama Indonesia, peran strategis kelapa sawit yang turut terdampak akibat perubahan suhu global dan pergeseran curah hujan, menjadi materi bahasan di International Conference on Oil Palm and Environment (ICOPE) 2025, hari ke-2, di Bali Beach Convention, Sanur, Bali, Kamis (13/2/2025).
Bahkan, peningkatan suhu global menjadi ancaman serius bagi sektor pertanian atau perkebunan sawit, yang dapat memengaruhi produksi kelapa sawit di Indonesia yang merupakan produsen dominan di sektor tersebut.
Salah satu pemateri, Bram Hadiwidjaya dari SMART Research Institute melaporkan, suhu di wilayah tropis meningkat 0,2 derajat celsius per dekade. Suhunya bahkan bisa naik 0,3 derajat celsius pada periode berikutnya.
"Hasil studi menunjukkan, kenaikan suhu ini sangat berbahaya bagi hasil panen. Peningkatan suhu 1-3 derajat celsius dapat mengurangi hasil panen hingga 40-41 persen,” sebutnya.
Bram menyoroti pentingnya tindakan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dan mencapai target net zero emissions (NZE).
“Tanpa upaya tersebut, suhu dapat meningkat hingga 0,5 derajat celsius per dekade, yang akan berdampak langsung pada produktivitas perkebunan. Situasi ini harus ditangani dengan serius, terutama dengan adanya pergeseran curah hujan yang juga dapat memengaruhi hasil panen," tambahnya.
Dia menekankan pentingnya memahami dan menghadapi tantangan perubahan iklim untuk memastikan keberlanjutan sektor tersebut.
Sementara itu, peneliti iklim CLIVAR di Ocean University of China Agus Santoso menyampaikan, perubahan iklim yang disebabkan oleh fenomena, seperti El Nino, makin memperburuk situasi ini.
"El Nino membawa kekeringan yang dapat merugikan perkebunan kelapa sawit di Indonesia yang sangat bergantung pada kondisi cuaca yang stabil," ungkapnya.
Sementara Direktur Regional CIRAD (Pusat Riset Pertanian Prancis untuk Pembangunan Internasional) Alain Rival mengatakan, untuk menghadapi tantangan di sektor perkebunan, CIRAD melaksanakan program talent.
Hal itu sebagai upaya merupakan upaya mempersiapkan manajer perkebunan untuk menjalankan praktik produksi yang lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan.
Dipaparkan, manajer perkebunan sering kali dihadapkan pada tanggung jawab yang kompleks, termasuk memastikan kualitas produk dan mengelola dampak lingkungan dari aktivitas. Oleh karena itu, mereka perlu diberikan pelatihan agar lebih siap dalam mengelola perkebunan.
Program ini dirancang untuk tidak hanya fokus pada aspek perkebunan, tetapi juga mengintegrasikan isu-isu penting, seperti konservasi dan keanekaragaman hayati.
"Kami memiliki ambisi besar untuk memberikan pelatihan yang komprehensif bagi manajer, termasuk penanganan satwa liar di sekitar perkebunan," tambah Rival.
Salah satu target negara yang diidentifikasi untuk melaksanakan program tersebut ialah Indonesia, Malaysia, Thailand, dan Vietnam.
Keputusan ini didasarkan pada perbedaan prioritas dan sistem perkebunan di masing-masing negara, dengan fokus pada komoditas, seperti karet, kelapa sawit, kayu keras, serta pulpwood dan firewood.
"Kami percaya, dengan memahami konteks lokal, kami dapat memberikan pelatihan yang lebih relevan dan berdampak," kata Rival. (lan)