Sejumlah ekor anjing yang akan diperjualbelikan. (Foto: VOA Ind)
JAKARTA, PERSPECTIVESNEWS- Penolakan terhadap larangan perdagangan daging anjing dan kucing oleh seorang anggota DPR RI, Firman Soebagyo, memancing reaksi keras dari berbagai kalangan, terutama dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang fokus pada kesejahteraan hewan dan kesehatan masyarakat.
Ini menunjukkan adanya urgensi mendesak untuk mengevaluasi dan memahami lebih dalam mengenai implikasi kebijakan tersebut.
Pada tanggal 18 November 2024, Firman Soebagyo menyatakan penolakannya terhadap pengesahan larangan perdagangan daging anjing dan kucing secara nasional yang diajukan untuk ditinjau pada tanggal 11 November oleh JAAN Domestic atas nama koalisi Dog Meat Free Indonesia (DMFI).
Meskipun ada dukungan untuk pengesahan RUU tentang Larangan Kekerasan terhadap Hewan Domestik, yang mencakup pasal yang secara eksplisit melarang pengadaan, perdagangan, dan penyembelihan anjing serta kucing untuk konsumsi manusia, terdapat pernyataan bahwa pasal ini akan dihapus.
Selain itu, sudah ada sejumlah undang-undang dan peraturan nasional, termasuk KUHP, yang jika ditegakkan, dapat menghilangkan perdagangan yang digambarkan sebagai ‘kejam dan berbahaya’.
Klaim tersebut sangat relevan dengan komitmen global untuk memberantas kematian manusia akibat rabies yang ditularkan oleh anjing pada tahun 2030, sementara rabies tetap endemik di 26 provinsi negara ini.
Urgensi Larangan dan Landasan Hukum
Penolakan larangan ini mengabaikan sejumlah pertimbangan penting, terutama risiko zoonosis yang tinggi dan kontribusi dalam penyebaran rabies – penyakit yang tetap menjadi endemik di 26 provinsi Indonesia.
Penting untuk diingat bahwa yang diajukan adalah pelarangan perdagangan daging anjing dan kucing, yang terkait erat dengan risiko kesehatan publik.
Indonesia telah memiliki Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Nomor 1 Tahun 2023 yang mencakup peraturan mengenai tindakan penganiayaan terhadap hewan.
Undang-undang ini memberikan dasar hukum yang kuat untuk melawan praktik-praktik kejam yang terlibat dalam perdagangan daging anjing dan kucing.
Selain itu, Kementerian Pertanian telah mengeluarkan himbauan untuk melarang perdagangan daging anjing dan kucing.
Himbauan ini sejalan dengan langkah-langkah yang telah diambil oleh 76 kota dan kabupaten serta lima peraturan daerah yang menerapkan pasal terkait larangan tersebut. Ini menunjukkan dukungan lokal yang kuat untuk kebijakan yang proaktif.
Keputusan untuk tidak mendukung larangan perdagangan ini menunjukkan inkonsistensi dalam penerapan hukum yang ada dan mengesankan adanya pengabaian terhadap upaya global untuk memberantas rabies yang ditularkan oleh anjing pada tahun 2030.
Menolak larangan ini berarti mengabaikan kekejaman yang melekat dalam perdagangan daging anjing dan kucing serta risiko terhadap kesehatan masyarakat.
Perdagangan ini sering kali memfasilitasi penularan penyakit seperti rabies, tidak hanya membahayakan kesehatan manusia tetapi juga menurunkan kualitas kesejahteraan hewan.
Peran dan Pandangan LSM
Pandangan Firman yang meremehkan peran LSM, mengesankan kurangnya apresiasi terhadap kontribusi signifikan yang telah diberikan oleh organisasi-organisasi ini.
Analisis mendalam dan penelitian yang dilakukan oleh LSM, dengan dukungan dari pakar nasional dan internasional, menawarkan data berharga dan panduan kebijakan bagi pemerintah.
Pendekatan berbasis bukti ini sangat penting dalam merumuskan kebijakan yang melindungi kepentingan publik dan hewan.
Sebagai organisasi non-pemerintah (LSM), kami terkejut membaca komentar media terbaru oleh Firman, yang menyatakan bahwa LSM tidak memiliki nilai, tidak membantu pemerintah, dan tidak berpikir secara rasional.
Dalam menyusun draft akademis dan legislatif, Koalisi DMFI melakukan analisis lengkap dan tinjauan literatur dengan melibatkan penasihat ahli, termasuk tokoh terkemuka di Indonesia seperti Dr. Wiwiek Bagja, Dr. Yenti Genarsih S.H., M.H., dan juga dari Pusat Perancangan Undang-Undang Indonesia.
Komentar Firman tampaknya didasarkan pada pendapat pribadi daripada fakta atau pemahaman mendalam tentang situasi.
Situasi Perdagangan Daging Anjing dan Kucing di Indonesia
Baru-baru ini, Koalisi DMFI terlibat dalam pencegahan perdagangan ilegal 64 anjing dari Bali ke Pelabuhan Banyuwangi di Jawa Timur untuk memenuhi permintaan daging anjing di Kota Solo, Jawa Tengah, menyoroti jalur perdagangan ilegal dan kejam anjing yang tidak diketahui status penyakit dan vaksinasinya melintasi batas provinsi.
Anjing-anjing itu ditemukan dalam kondisi buruk setelah diperdagangkan selama berhari-hari, melanggar peraturan Bali yang secara eksplisit melarang aktivitas perdagangan daging anjing dan undang-undang peternakan serta pengendalian penyakit nasional, sekali lagi menyoroti perlunya undang-undang lebih kuat untuk melindungi kesehatan manusia dan hewan serta hewan peliharaan dari penyalahgunaan dan eksploitasi.
DMFI menambahkan, dengan 93% populasi mendukung larangan dan kurang dari 5% pernah mengonsumsi daging anjing, serta risiko yang terdokumentasi dengan baik dan kekejaman yang melekat dalam perdagangan daging anjing, sangat mengejutkan bahwa ini bukanlah keputusan mudah untuk mendukung larangan.
Sejak 2017, lebih dari 75 kota, kabupaten, dan provinsi sudah merasa terdorong untuk mengeluarkan arahan dan peraturan yang secara eksplisit melarang perdagangan daging anjing dan kucing di yurisdiksi mereka, merujuk pada frustrasi tentang kurangnya dukungan hukum nasional untuk menghentikan perdagangan ini dari memengaruhi masyarakat mereka.
Perdagangan daging anjing didorong oleh keuntungan dan hanya menguntungkan segelintir orang sambil membahayakan kesehatan dan kesejahteraan seluruh bangsa.
Di seluruh wilayah, kami melihat semakin banyak negara dan wilayah yang mengambil tindakan untuk mengakhiri perdagangan ini, baik atas dasar kesejahteraan hewan maupun untuk mengendalikan penyebaran penyakit mematikan seperti rabies; dan dengan meningkatnya kepemilikan hewan peliharaan dengan cepat, adalah kewajiban masyarakat untuk melindungi hewan-hewan pendamping dari segala bentuk penyalahgunaan, penelantaran, dan eksploitasi.
Perdagangan daging anjing dan kucing tidak bisa menjadi contoh yang lebih baik dari penyalahgunaan dan eksploitasi seperti itu.
Kesimpulan dan Rekomendasi
Melihat dari perspektif hukum yang telah ada dan dukungan dari berbagai tingkat pemerintahan, penolakan terhadap larangan perdagangan daging anjing dan kucing bukanlah langkah yang bijaksana.
DPR RI perlu mengevaluasi kembali dan mempertimbangkan implikasi jangka panjang dari kebijakan ini terhadap kesehatan publik dan kesejahteraan hewan.
Komitmen untuk memberantas rabies dan mencegah penyebaran penyakit zoonosis harus didahulukan, dan pelarangan perdagangan ini akan menjadi langkah penting menuju masyarakat yang lebih sehat dan lebih beradab.
Dukungan terhadap larangan ini tidak hanya bermanfaat bagi kesejahteraan hewan tetapi juga memperkuat upaya nasional dalam melindungi kesehatan masyarakat.
Tentang Koalisi DMFI
Koalisi DMFI merupakan organisasi yang peduli terhadap isu kesejahteraan hewan lintas negara. Koalisi DMFI terdiri dari Yayasan Jakarta Animal Aid Network (JAAN Domestic) sebagai koordinator nasional, Animal Friends Jogja (AFJ), serta mitra internasional seperti Humane Society International, FOUR PAWS International, dan Animals Asia. (DMFI)