Deputi Bidang Kebijakan Pembangunan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Mego Pinandito saat Konferensi Pers FMB 9 Road to the 10th WWF bertajuk “Riset dan Inovasi, Solusi Krisis Air”, Rabu (13/3/2024), di Jakarta. (Foto: Dok)
JAKARTA, PERSPECTIVESNEWS- Deputi Bidang Kebijakan Pembangunan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Mego Pinandito mengatakan, dalam 10th World Water Forum (WWF) di Bali pada 18-25 Mei 2024, Indonesia akan mengedepankan Science Diplomacy melalui saling tukar informasi terkait riset, inovasi dan teknologi pengelolaan sumber daya air bersama negara-negara lain.
Menurutnya, langkah-langkah utama yang perlu dilakukan adalah pengamatan dampak perubahan iklim terhadap sumber daya air itu sendiri, bagaimana kebijakan pembangunan yang relevan, dan pengelolaannya.
Ia juga menambahkan, perubahan iklim telah memicu meningkatnya suhu hingga 0,3 Celsius.
“Hal ini memberikan dampak terhadap proses hidrologi sumber air, perubahan siklus air, hingga curah hujan yang kini terasa lebih pendek dan musim panas terasa lebih lama. Pada daerah-daerah tertentu hal tersebut memicu banjir atau kekeringan,” ujar Mego saat Konferensi Pers FMB 9 Road to the 10th WWF bertajuk “Riset dan Inovasi, Solusi Krisis Air”, Rabu (13/3/2024), di Jakarta.
Mego memaparkan, terdapat adaptasi yang telah dilakukan oleh Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim dan diadaptasi dengan kondisi yang ada.
Adaptasi tersebut yakni, penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN 2020-2024) yang dikembangkan dari Enhanced Nationally Determined Contribution (NDC) 2022.
Kemudian dari segi inovasi, Mego menambahkan, BRIN telah melakukan berbagai upaya dari tingkat hulu hingga hilir. Salah satu upaya yang dilakukan dalam pengelolaan air yakni dengan “Pemanenan Air” atau pemanfaatan air permukaan berupa air limpasan langsung dan sungai (kecil) dan atau air tanah dangkal di lahan kering dan tadah hujan.
Menurutnya, saat ini solusi krisis air di tengah masyarakat masih berpijak pada air tanah mengingat akses yang mudah dan murah sementara air perpipaan melalui PDAM masih terbatas.
“Untuk merespon risiko krisis air dan keterbatasan air tanah dibutuhkan sistem monitoring di berbagai level dan melibatkan berbagai mitra. Misalnya, pengelolaan air bersih untuk pemenuhan perkotaan tidak hanya membutuhkan sistem perpipaan PDAM yang memadai namun juga pengelolaan sumber air baku khususnya sungai. Untuk itu dibutuhkan sinkronisasi kebijakan yang multi sektor,” katanya.
Saat ini, potensi sumber bencana telah dapat diidentifikasi melalui berbagai teknologi yang dikembangkan dan disinergikan antar lembaga terkait, khususnya BRIN, BMKG, KLHK dan PUPR.
“Dengan remote sensing data, kita sudah bisa mendeteksi potensi sumber kebencanaan. Dengan KLHK, kami bekerja sama dalam mendata wilayah-wilayah hutan yang botak dan memerlukan penanaman kembali. Namun kami juga membutuhkan kerja sama pemerintah daerah untuk mengelola secara tegas praktik pembalakan liar yang menjadi penyebab utama kerusakan hutan” tambahnya.
Terkait mitigasi bencana banjir, BRIN juga bekerja sama dengan PUPR dalam mendata ragam aliran sungai dan tanggul-tanggul yang rentan akibat kebocoran atau kondisi rusak, proyek pembangunan embung dan kolam sumber air untuk mengurangi penggunaan air tanah yang berlebihan serta berbagai teknologi yang mendukung upaya pemanfaatan ulang air atau wastewater treatment.
Terkait upaya edukasi dan literasi masyarakat di berbagai level tentang isu kebencanaan, ia juga menyebut peran penting pemuka agama dalam memberi pengarahan karena mereka adalah tokoh masyarakat yang didengar dan dihormati. Selain itu bahan pembelajaran terkait mitigasi bencana juga perlu dimasukkan ke dalam kurikulum sekolah.
“Dalam upaya sosialisasi inovasi dan teknologi mutakhir terkait air, kita membutuhkan social engineering dengan melibatkan pakar-pakar ilmu sosial dan kemasyarakatan,” sebutnya.
Mego menekankan, BRIN dalam konteks ini menginginkan semua pihak dapat terlibat dalam 10th WWF. Pada forum ini, Indonesia juga akan memperkenalkan berbagai teknologi pemanfaatan air hujan, air laut hingga kabut yang telah dipraktikkan secara turun temurun dan menjadi kearifan lokal di berbagai wilayah di Indonesia.
“Harapannya tentu saja agar kita dan negara-negara di dunia dapat saling belajar mengenai inovasi teknologi yang sangat mungkin diterapkan oleh masing-masing negara.” tutup Mego. (*/lan)