Rusdianto Samawa, Ketua Umum FNI (Foto: FNI)
JAKARTA,
PERSPECTIVESNEWS- Modal Usaha Kelautan Perikanan (MUKP) merupakan dana
modal usaha nelayan yang bersumber dari APBN. Dana ini seharusnya murni untuk
menunjang profesi nelayan.
Komisi IV DPR RI dan pemerintah, mengatur dana ini dalam
mekanisme realisasi dana dan sesuai dengan pagu anggaran yang telah ditetapkan.
Nomenklaturnya nelayan. Namun, dana MUKP ini disalahartikan dan/atau diberikan
untuk banyak pengusaha, bukan semata - mata untuk nelayan.
Kata nelayan, kembali dieksploitasi untuk mendapatkan pagu
anggaran. Regulasi tidak menyebut pengusaha. Kalau menyebut pengusaha sangat
sensitif.
Dana MUKP 90 persen direalisasikan pada pembiayaan modal
usaha pengusaha, bukan modal usaha nelayan untuk melaut, bukan pula untuk
mengangkat derajat hidup nelayan.
Walaupun banyak pengusaha kelautan perikanan memiliki nelayan
dan kapal namun harus dibedakan antara pemodal dengan nelayan kecil yang belum
meningkat kapasitasnya (belum modern) dari sisi alat tangkapnya.
Bagi paguyuban nelayan sangat sulit mendapatkan MUKP ini.
Selain syarat yang memberatkan dan juga sistemnya seperti rentenir dan bank.
Syarat - syarat pengajuan untuk mendapatkan dana MUKP
seperti sertifikat tanah, dasar hukum kelompok, modal awal lembaga (koperasi)
dan/atau KUB serta syarat lain yang memberatkan.
Selain itu, ada beban yang harus dilakukan oleh KKP melalui
Lembaga Pengelola Modal Usaha Kelautan dan Perikanan (LPMUKP) yakni
merealisasikan modal yang bersumber dari APBN tersebut dalam kurun waktu
setahun harus habis sesuai jumlah yang dianggarkan.
Maka berbagai terobosan program realisasi dana diluncurkan.
Mulai dari program yang paling baik dan produktif hingga program pendanaan yang
kurang baik. Bahkan mengambil keuntungan dari realisasi dana sehingga sistem
pengelolaan dana seperti model simpan pinjam dan diberlakukan pengembalian
modal sesuai jumlah kredit dalam kurun waktu sekian tahun.
Masyarakat bertanya? Apakah APBN memang diperuntukkan untuk
modal pinjaman kredit atau memberi bantuan modal kepada nelayan dan/atau
menggemukkan modal pengusaha yang memiliki kelompok nelayan, pembudidaya
dan/atau modal nelayan kecil kategori perseorangan?.
Baru kali ini ada pola bisnis dalam realisasi APBN yang
dianggarkan dari KKP. Padahal, APBN itu berasal dari Pendapatan Negara Bukan Pajak
(PNBP) nelayan tangkap, pembudidaya, petani garam, petambak, petani rumput laut,
galangan kapal, eksport import, tambat labuh kapal nelayan, aktivitas
pelabuhan, pendaratan ikan di tempat pelelangan ikan, operasi alat tangkap,
perizinan, dan usaha lainnya.
Kalau sistem pengembalian seperti kredit modal simpan pinjam,
lalu yang mengambil untung dari bisnis dana MUKP itu siapa?. Apakah mekanisme
penarikan PNBP dan pengembaliannya sistem kredit?, bagaimana dasar hukumnya?.
Tentu pertanyaan akan muncul lebih banyak lagi.
Belum lagi, kalau modal dana MUKP ini dikuasai oleh kelompok
tertentu, seperti partai politik, perusahaan, dan jaringan Kelompok Usaha
Bersama (KUB) tertentu yang dibentuk oligarki. Hal ini sangat rentan terjadi
masalah. Jaringan kelompok yang menguasai ini sangat besar mengambil manfaat
dari realisasi dana MUKP tersebut.
Tata Kelola Perlu
Diperbaiki
Rusdianto Samawa (tengah) bersama para nelayan. (Foto: FNI)
Maka, perlu perbaikan dalam tata kelola realisasi bantuan
modal MUKP ini, jangan hanya menjual diksi untuk nelayan kecil. Supaya
keterbukaan itu tetap diprioritaskan dalam pengelolaan keuangan MUKP.
Hal - hal yang perlu diperbaiki adalah daftar penerima
bantuan modal, sistem realisasi, verifikasi data, pengecekan jumlah realisasi
permodalan, dan evaluasi hasil yang telah dilakukan selama 10 tahun sejak 2014
- 2023.
LPMUKP memberikan modal dengan skema pinjaman/pembiayaan
dengan tarif layanan yang rendah yakni maksimal 4% per tahun.
Ada banyak faktor yang perlu dipertimbangkan oleh KKP dalam
merealisasikan dana tersebut, yakni: Pertama; pertimbangkan kondisi sosial
ekonomi masyarakat pesisir, khusus pembudidaya dan nelayan. Bagi nelayan, tak
ada pilihan lain selain berusaha beraktifitas di laut dengan segala
keterbatasan yang dihadapinya.
Kedua; modal tersebut, bukan bersifat bantuan langsung
ekonomi rumah tangga. Namun modal diberikan untuk menopang berkembangnya sistem
penangkapan ikan, seperti alat tangkap, kapal, dan distribusi hasil nelayan
maupun pembudidaya. Dengan dana tersebut, nelayan bisa menambah kekurangan
biaya untuk membeli kapal baru. Ada pula yang memanfaatkannya untuk membeli
alat tangkap pancing dan jaring.
LPMUKP harus kerjasama dengan paguyuban nelayan langsung
secara terbuka untuk memberdayakan mereka, tanpa melalui perusahaan (oligarki)
yang selama ini ‘menilep’ dana tersebut. Lagi pula, proses dipermudah sehingga
dapat membantu.
Usaha kelautan dan perikanan seringkali dianggap memiliki
risiko tinggi sehingga sulit mendapatkan akses permodalan. Padahal modal sangat
dibutuhkan untuk berjalannya suatu usaha.
Menjawab tantangan tersebut, Kementerian Kelautan dan
Perikanan (KKP) sudah memberikan solusi melalui LPMUKP. Namun, tidak dengan
pengelolaan seperti rentenir dengan mekanisme cicilan kredit pinjaman. Mestinya
KKP membebaskan syarat pada akses modal dan pengembalian karena anggaran
tersebut bersifat anggaran hitungan habis yang bersumber dari APBN.
LPMUKP seharusnya merubah metodenya, apalagi selama ini
nelayan terkesan sangat sulit mengakses dana tersebut. Kalau terus terjadi
sistem tidak transparan, maka diragukan pertanggungjawaban Badan Layanan Umum
(BLU) kepada negara sebagai lembaga yang memberikan fasilitas
pinjaman/pembiayaan bagi nelayan, pembudidaya ikan, petambak garam, pengolah
dan pemasar hasil perikanan, hingga usaha masyarakat pesisir lainnya.
LPMUKP belum seimbang dan minim perspektif keadilannya,
karena hanya membiayai usaha - usaha budidaya yang sudah berjalan sukses.
LPMUKP kurang melihat kondisi usaha nelayan yang belum
menguat dari permodalan. Kalau objektif, fasilitas MUKP belum begitu tinggi
memberikan dampak positif bagi masyarakat khususnya nelayan - nelayan kecil di pedesaan.
Terlebih dengan hadirnya tenaga pendamping dan tarif layanan yang ringan,
mendorong usaha jadi lebih maju dan kesejahteraan pun meningkat.
(Penulis: Rusdianto Samawa, Ketua Umum Front Nelayan
Indonesia-FNI)