Ni Komang Yuli Susanti (Bu Krisna), penjual teh beras merah saat menyambut kedatangan Menteri Pariwisata dan jajaran di Jatiluwih, Senin (9/12/2024). (Foto: Perspectives)
JATILUWIH, PERSPECTIVESNEWS- Popularitas Desa Wisata Jatiluwih sudah mendunia. Itu pun diperjuangkan lebih dari 12 tahun dan membutuhkan banyak upaya khususnya dalam mempertahankan dan melestarikan adat dan budaya Desa Jatiluwih yang bertumpu pada pertanian dan produk turunannya.
Desa Jatiluwih, Tabanan, Bali, Indonesia, menerima penghargaan sebagai salah satu Desa Terbaik Dunia 2024 dari United Nations Tourism (UNT).
Penghargaan bergengsi ini diberikan dalam acara UN-Tourism di Kolombia sebagai pengakuan atas komitmen Desa Jatiluwih terhadap pariwisata berkelanjutan, pelestarian budaya, dan pengelolaan lingkungan yang bertanggung jawab.
Penghargaan ini diterima langsung John Ketut Purna, Kepala Pengelola Desa Wisata Jatiluwih yang hadir mewakili masyarakat desa dan membagikan pencapaian luar biasa ini kepada dunia.
Dipilih lebih dari 260 aplikasi yang berasal dari lebih 60 negara, Desa Jatiluwih menjadi salah satu desa yang terpilih karena komitmennya dalam melestarikan warisan budaya, menjaga lingkungan, dan mengembangkan pariwisata yang bertanggung jawab.
Pengakuan ini menempatkan Jatiluwih di antara destinasi wisata pedesaan terbaik dunia dan memperlihatkan dedikasi Indonesia dalam mempromosikan pariwisata berkelanjutan yang menghargai tradisi lokal dan kekayaan alam.
Salah satu faktor utama di balik penghargaan ini adalah sistem Subak, sebuah sistem pengelolaan air berbasis komunitas yang telah ada lebih dari 1000 tahun. Subak bukan hanya teknik irigasi, tetapi juga simbol harmoni dan ketahanan komunal, yang mencerminkan hubungan mendalam antara masyarakat Bali dan lingkungannya.
Pada tahun 2012, Jatiluwih bersama sistem Subak diakui sebagai Situs Warisan Dunia UNESCO, menegaskan pentingnya praktik tradisional ini.
Hingga kini, Subak tetap menjadi inti dari identitas Jatiluwih, menyatukan masyarakat dalam dukungan dan kerja sama untuk menjaga keberlanjutan lahan.
Benarkah semuanya mulus tanpa kendala?. Jika penghargaan itu diraih atas upaya bersama warga masyarakat, lantas kenapa masih ada diantara warga yang merasa belum puas dengan raihan penghargaan itu?.
Ni Komang Yuli Susanti, akrab disapa Bu Krisna (46), adalah warga asli Jatiluwih. Istri seorang petani tulen yang memiliki hamparan sawah seluas 2 hektar ini mengaku masih ada yang kurang dari mendunianya Jatiluwih.
“Siapa sih yang nggak bangga dan senang desa kami makin dikenal dunia. Kualitas hidup kami makin meningkat dan sejahtera karena banyaknya turis yang datang. Tapi kami belum bisa sepenuhnya senang karena sawah kami masih kekurangan pupuk. Pupuk yang ada belum mencukupi kebutuhan sawah kami,” terang Bu Krisna.
Pemilik warung makan Krisna ini mengeluhkan kurangnya pupuk selain distribusinya yang sering terlambat. “Kalau kurang itu pasti, ditambah datangnya pupuk yang sering terlambat membuat kami harus mencari solusinya. Akhirnya kami memakai pupuk kandang, kebetulan di desa kami ada beberapa pemilik sapi. Kita olah pupuk kandang itu menjadi pupuk untuk sawah kami. Kami berharap pihak pengelola lebih memperhatikan kebutuhan para petani yang masih kekurangan pupuk,” harap Bu Krisna yang kesehariannya memproduksi teh beras merah dari lumbung sawahnya sendiri.
Ni Wayan Ratiyan berjualan jajanan Laklak saat menyambut kedatangan Menteri Pariwisata dan jajaran di Jatiluwih, Senin (9/12/2024). (Foto: Perspectives)
Hal yang sama juga disampaikan Ni Wayan Ratiyan, biasa disapa Bu Galang (45), mengeluhkan kurangnya pupuk dan bibit padi.
Selain pupuk dan bibit, petani juga ingin lebih difasilitasi oleh pengelola terkait permasalahan pertanian di Jatiluwih.
“Untuk pertaniannya mohon bisa lebih diperhatikan ya, karena pertanian sebagai ujung tombak di Desa Jatiluwih apalagi makin jarang yang mau jadi petani. Permasalahan kita ada di biaya. Biaya untuk membajak sawah, beli pupuk, bibit, kalau panen juga butuh ongkos, belum lagi kalau gagal panen (diserang tikus). Jadi kami para petani ini mohon agar pihak pengelola bisa mencarikan solusi dan memfasilitasi permasalahan ini,” ungkap pemilik 60 are lahan sawah yang kesehariannya berjualan jajanan tradisional Laklak Bali ini. (lan)