Maestro tari Prof. Made Bandem memukau para penonton yang menyaksikan kepiawaiannya menarikan tari topeng ‘Dalem Arsawijaya’ di objek wisata Tukad Bindu, Denpasar, Minggu malam (28/7/2024). (Foto: perspectives)
DENPASAR, PERSPECTIVESNEWS- Maestro tari Prof. Made Bandem memukau para penonton yang menyaksikan kepiawaiannya menarikan ‘Dalem Arsawijaya’ di objek wisata Tukad Bindu, Denpasar, Minggu malam (28/7/2024).
Di usianya jelang 80 tahun, Made Bandem masih sigap dan bersemangat membawakan berbagai tari karya dirinya dan istrinya tercinta.
Sejumlah tari-tarian ditampilkan dalam Festival Seni Nusantara 2024 di Tukad Bindu, Kesiman, Denpasar Timur, dan salah satunya dipentaskan Tari ‘Dalem Arsawijaya’ sebagai sebuah pertunjukan topeng atau tari topeng, yang merupakan salah satu ciri penting seni pertunjukan Bali.
Prof. Dr. I Made Bandem, MA, yang juga selaku Pembina Yayasan Widya Dharma Shanti ITB STIKOM Bali.
Menurutnya, pertunjukan Tari ‘Dalem Arsawijaya’ menggambarkan cerita dari sastra Babad atau sejarah silsilah kerajaan, pura dan keluarga kerajaan.
Dalam hal ini, lanjutnya Arsawijaya mengacu pada watak raja yang halus dan bermartabat serta melambangkan sifat-sifat ideal raja-raja Nusantara dan Bali.
Hal tersebut dinyatakan murni dalam pikiran, kebenaran dalam tindakan dan yang terpenting anggun dalam kehadiran.
"Tari ‘Dalem Arsawijaya’ itu sebagai salah satu Tari Topeng yang memang saya senangi, yang dipelajari dari orangtua saya, tapi ini baru pertama kali tampil. Mudah-mudahan tahun depan, bulan depan, saya bisa menari yang lain, karena pada waktu kecil, saya belajar menari Baris, kemudian belajar tari Gebyar Duduk dari Mario dan Wayan Rindi. Suatu saat juga saya akan menarikan Gebyar Duduk dan tari Gebyar-gebyar yang lainnya," kata Prof. Made Bandem.
Made Bandem mengaku dirinya ingin juga mengingat masa lalu sebagai penari, guru tari dan lain-lainnya. Tempat ini, tentu saja, berbeda dengan panggung yang disiapkan di Art Center Denpasar," paparnya.
Jika di Art Center ada Panggung Terbuka namanya Tapal Kuda hingga Panggung Tertutup, yang tentunya berbeda dengan Panggung di Tukad Bindu, Kesiman Denpasar yang dominan dipenuhi alam lingkungan.
Untuk itu, pihaknya ingin memanfaatkan alam lingkungan, karena bagi masyarakat disini, Tukad Bindu dijadikan sebagai tempat bersosialisasi dan tempat mencari identitas sekaligus tempat mencari penghidupan.
"Jadi, ke depan tantangan besar, memang memanfaatkan lingkungan ini sebagai teater tempat pementasan, apalagi di sebelah ada sungai, sehingga bisa diciptakan tari-tarian berkaitan dengan lingkungan," tegasnya.
Sasaran utamanya dipastikan masyarakat, agar bisa ditonton suatu Festival Seni Nusantara. Tidak saja ditampilkan tari Bali, tapi juga tari-tarian yang lainnya, seperti tari-tarian dari Jawa Timur, Solo dan Sunda mengingat Indonesia ini memiliki keberagaman kesenian, dimulai dari seni rakyat sampai seni klasik.
"Kita telah sudah membukanya 2 minggu yang lalu dan hari ini adalah hari terakhir, sehingga saya ingin terlibat juga, supaya bisa menampilkan tari klasik Bali, terutama tari ‘Topeng Dalem Arsawijaya’," kata Prof. Made Bandem.
Dipaparkan, Dalem Arsawijaya sesungguhnya Dalem Majapahit yang merupakan seorang Raja Majapahit dengan nama lain Raden Wijaya dengan menggunakan lakon Kerajaan Majapahit pada zamannya.
Selanjutnya, Prof. Made Bandem menggunakan Tapel atau Topeng sebagai hadiah orangtuanya pada tahun 1956 oleh Raja Bangli yang terakhir.
"Jadi, topeng itu yang saya gunakan pada malam ini. Disamping itu, juga ditampilkan tari Sekar Jagat dengan Koreografer Ibu Swasti tahun 1983, lalu terakhir akan dipentaskan Tari Kebesaran Widya Prakrti ITB STIKOM Bali," ungkapnya.
Tak hanya itu, juga dipentaskan Tari Kebesaran Widya Prakrti milik ITB STIKOM Bali, agar masyarakat juga mengenal Tari Kebesaran, dikarenakan NLN Swasthi Widjaja Bandem sebagai pencipta tari kebesaran pertama di Indonesia, khususnya di Bali.
"Diciptakan pertama itu Tari Siwa Nataraja untuk ISI Denpasar. Setelah itu, berkembanglah Tari Kebesaran dimana-mana, tidak saja di Universitas atau Pemerintahan sampai Dinas Pertamanan dan lain-lainnya juga punya Tari Kebesaran, maksudnya maskot seperti itu," sebutnya.
Oleh karena itu, Prof. Made Bandem berharap, ITB STIKOM Bali sebagai suatu lembaga yang mengelola IT, Bisnis dan juga kebudayaan mulai mengadakan kegiatan-kegiatan seperti ini, dengan memberikan apresiasi kepada para mahasiswa, lantaran semua penari dan penabuh berasal dari mahasiswa.
Melalui Festival Seni Nusantara, Prof. Made Bandem berharap masyarakat lebih mencintai lagi seni-seni kerakyatan bersifat klasik yang dimiliki oleh Bali hingga Nusantara. (lan)