Tim Evaluasi Pelaksanaan Pembangunan dan Pengelolaan Bendungan Kementerian PUPR, Mahdi Ibrahim Tanjung pada diskusi Science-based Policy to Make Disaster Risk Reduction (DRR) Actionable from Local to Global di WWF ke-10 di BICC, Nusa Dua, Bali, Kamis (23/5/2024). (Foto: Tim WWF)
BADUNG, PERSPECTIVESNEWS- Peran ilmu pengetahuan (science) menjadi bagian penting dalam mitigasi bencana karena mampu membantu meminimalkan berbagai bentuk kerugian, baik material maupun nonmaterial.
Untuk itu diperlukan kebijakan dan aturan berbasis science yang tepat guna agar mitigasi bencana lebih bermanfaat, efisien dan efektif untuk masyarakat. Negara-negara di dunia diharapkan dapat mendukung pengaplikasian science dalam memitigasi bencana, tidak hanya sekadar wacana.
Pembahasan tersebut mengemuka pada diskusi Science-based Policy to Make Disaster Risk Reduction (DRR) Actionable from Local to Global pada World Water Forum (WWF) ke-10 di Bali International Convention Center (BICC), Nusa Dua, Bali, Kamis (23/5/2024).
Indonesia termasuk negara yang paling rentan terguncang bencana, mulai dari gempa bumi, tsunami, hingga erupsi gunung merapi. Berkaca pada sejumlah bencana yang pernah terjadi seperti Tsunami Aceh pada tahun 2003 dan Gempa Palu pada tahun 2018, Indonesia menyadari peran penting science dalam emitigasi bencana.
“Kami kemudian melakukan review terhadap standar nasional dan membuat guidelines yang lebih jelas. Sangat penting menggunakan disaster risk maps untuk mitigasi dan adaptasi. Selain itu perlu parameter yang lebih advanced serta melakukan analisis dengan metode terkini yang sesuai dengan perkembangan terkini teknologi dan science,” jelas Tim Evaluasi Pelaksanaan Pembangunan dan Pengelolaan Bendungan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Mahdi Ibrahim Tanjung.
Tanjung menjelaskan, Indonesia tidak hanya harus bekerja keras dalam menangani bencana, namun juga harus melakukan mitigasi.
Guna meminimalkan kerugian yang terjadi akibat bencana, ada beberapa hal penting yang harus dilakukan. Pertama, masyarakat harus paham dan sadar akan tanda bahaya sehingga bisa melakukan pencegahan. Kedua, perlu adanya kemampuan untuk beradaptasi terhadap berbagai bentuk perubahan yang terjadi.
“Kita harus mulai mengubah cara pandang terhadap bencana, dari reaktif menjadi antisipatif. Pemerintah pusat maupun daerah perlu menambah jumlah anggaran yang diinvestasikan untuk penanganan dan mitigasi bencana. Investasi tidak hanya dalam bentuk infrastruktur fisik, tapi juga pemberdayaan masyarakat, peringatan dini, pengembangan kapasitas, serta membuka kemungkinan bagi multistakeholder untuk kolaborasi global,” tambahnya.
Dalam kesempatan yang sama, Director of Water Environment Research Group Public Work Research Institute Jepang, Keigo Nakamura membagikan strategi dan pengalamannya dalam menangani bencana yang berdasar pada science.
Sementara peneliti lainnya dari Universitas Tokyo, Kawasaki Akiyuki, menegaskan science sangat berperan penting dalam mengatasi dan memitigasi bencana di Jepang.
Untuk itu, menurutnya, tantangan yang dihadapi para peneliti dan akademisi untuk mengintegrasikan science ke dalam proses pengambilan keputusan dan kebijakan mitigasi memerlukan kerja sama dan kolaborasi berbagai pemangku kepentingan.
Kebijakan mitigasi yang dirancang dengan baik dan detail diyakini akan berpengaruh pada efektivitas pendanaan dan keberlanjutan hidup masyarakat. Antisipasi bencana melalui mitigasi berbasis science diyakini akan mampu mencegah kehancuran dan kerugian yang luar biasa.
Ke depannya, pemerintah Sangat diharapkan bisa menyusun kebijakan dan peraturan yang jelas dan tegas terkait upaya mitigasi bencana. (Tim WWF)